Tanah/lahan
merupakan suatu rahmat dan anugerah dari Allah SWT yang sengaja diciptakan
untuk tempat bermukimnya mahluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya.
Pengertian ini
memberikan makna bahwa manusia sebagai mahluk hidup sangat membutuhkan
tanah/lahan, baik digunakan sebagi tempat tinggal, tempat bercocok tanam,
maupun untuk tempat usaha lainnya, sementara persediaan lahan yang ada sangat
terbatas. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa setiap orang berusaha
menguasai dan mempertahankan bidang-bidang tanah/lahan tertentu termasuk
mengusahakan status hak kepemilikannya.
Dalam sistem
hukum Agraria di Indonesia dikenal ada beberapa macam hak penguasaan atas tanah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1961 tentang
Pokok Agraria, yaitu antara lain: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan.
Pada dasarnya
istilah “sertifikat” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris (certificate)
yang berarti ijazah atau Surat Keterangan yang dibuat oleh Pejabat tertentu.
Dengan pemberian surat keterangan berarti Pejabat yang bersangkutan telah
memberikan status tentang keadaan seseorang.
Istilah
“Sertifikat Tanah” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai surat keterangan
tanda bukti pemegang hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat. Dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah bahwa telah menerangkan bahwa
seseorang itu mempunyai hak atas suatu bidang tanah, ataupun tanah seseorang
itu dalam kekuasaan tanggungan, seperti sertifikat Hipotek atau Kreditverband,
berarti tanah itu terikat dengan Hipotek atau Kreditverband (Budi
Harsono:1998).
Pengertian
Sertifikat Tanah dapat dilihat dasarnya yaitu dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) Pasal 19, menyebutkan bahwa:
Ayat
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. Pengukuran,
pemetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Dengan berdasar
ketentuan Pasal 19 UUPA, khususnya ayat (1) dan (2), dapat diketahui bahwa
dengan pendaftaran tanah/pendaftaran hak-hak atas tanah, sebagai akibat
hukumnya maka pemegang hak yang bersangkutan akan diberikan surat tanda hak
atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak
atas tanah tersebut.
Sertifikat
Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau disebut juga Sertifikat Hak terdiri
salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul. Sertifikat
tanah memuat:
a. Data fisik: letak,
batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada di atas tanah;
b. Data yuridis:
jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak
pengelolaan) dan siapa pemegang hak.
Istilah
“sertifikat” dalam hal dimaksud sebagai surat tanda bukti hak atas tanah dapat
kita temukan di dalam Pasal 13 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
10 Tahun 1961, bahwa:
Ayat
(3) Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur
setelah dijahit secara bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya
ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut Sertifikat dan
diberikan kepada yang berhak”.
Ayat (4) Sertifikat
tersebut pada ayat (3) pasal ini adalah surat tanda bukti hak yang dimaksud
dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria”.
Serifikat hak
atas tanah ini diterbitkan oleh Kantor Agraria Tingkat II (Kantor Pertanahan)
seksi pendaftaran tanah. Pendaftaran itu baik untuk pendaftaran pertama kali (recording
of title) atau pun pendaftaran berkelanjutan (continious recording)
yang dibebankan oleh kekuasaan hak menguasai dari negara dan tidak akan pernah
diserahkan kepada instansi yang lain. Sertifikat tanah yang diberikan itu dapat
berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah, apabila dipersengketakan.
Berdasarkan
keadaan bahwa pada saat ini banyak terjadi sengketa di bidang pertanahan,
sehingga menuntut peran maksimal dan profesionalisme yang tinggi dari petugas
Kantor Pertanahan yang secara eksplisit tidak ada ketentuan yang mengatur
mengenai pembatasan waktu untuk menyelesaikan proses pendaftaran tanah di
Kantor Pertanahan maupun pengenaan sanksi kepada petugas Kantor Pertanahan
apabila melakukan kesalahan dalam pelaksanaan seluruh dan atau setiap proses
dalam pendaftaran tanah. Hal ini erat kaitannya dengan hakikat dari sertifikat
tanah itu sendiri, yaitu:
- Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak baik oleh manusia secara perorangan maupun suatu badan hukum;
- Merupakan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum yang tercantum dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya, sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan sertifikat tanah;
- Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut.
0 komentar:
Post a Comment