Pages

0

Perlindungan Anak

“Perlindungan anak” adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (UU/23/2002). Dalam pengertian ini tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi.
Namun, melihat fakta akhir-akhir ini, anak menghadapi berbagai permasalahan. Lihat saja, anak tidak nyaman berjalan di jalan. Sebagai contoh, menurut data Ditlantas Metro Jaya 2006 dari 1.128 korban meninggal karena kecelakaan lalu-lintas, 20 persennya adalah anak. Lihat saja, meningkatnya persentase anak dengan gizi buruk dari 8,3 persen menjadi 10,1 persen atau dari 1,8 juta di tahun 2004 menjadi 2,3 juta di tahun 2006. Bidang pendidikan : Angka Partisipasi Murni (APM) SD 95 persen dan APM 67 persen atau 28 persen putus sekolah. Dengan demikian, pantaslah rendah kualitas pendidikan Indonesia, sehingga rata-rata anak Indonesia bersekolah 6,7 tahun. Hal ini disebabkan oleh tingginya angka kawin muda, yaitu 34,3 persen.
Fakta lain, kasus-kasus kekerasan pada anak meningkat, seperti 23 anak diperkosa oleh ayahnya; kasus anak diperdagangkan meningkat; pekerja anak masih tinggi; anak jalanan sulit dikendalikan; anak dengan narkoba meningkat tajam; dan masalah-masalah perlindungan khusus lainnya. Sementara itu, Departemen Kesehatan mencatat 154 bayi terinfeksi HIV/AIDS dan ratusan anak remaja terinfeksi HIV/AIDS.
Jika mau jujur, sebenarnya masih banyak kepentingan anak yang terabaikan. Sebagai contoh, partisipasi anak dalam pembangunan, sampai detik ini, belum ada praktik-praktik secara formal mengajak anak dalam pembuatan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kepentingan mereka, sedangkan anak yang berusia 17-an suaranya yang diperebutkan oleh berbagai partai melalui PEMILU, tidak memberikan banyak pengaruh untuk kesejahteraan mereka. Lainnya adalah mewujudkan alokasi dana untuk anak dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Padahal mereka adalah 38 persen dari total penduduk negeri ini.

KHA dan WFFC
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen internasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Konvensi ini berdasar pada empat prinsip, antara lain suara anak di dengar dan kepentingan baik bagi anak. Selain itu, secara tegas Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Konsekuensinya, sejak itu Indonesia tunduk pada ketentuan internasional. Namun kenyataan, terjemahan resmi negara tentang KHA, Indonesia belum pernah memub- likasikannya, adapun yang tersebar dipublik itu adalah terjemahan lepas. Padahal amanah bagi egara, agar KHA tersosialisasi dengan luas adalah selain dengan menerjemahkan ke dalam bahasa resmi Negara, juga ke berbagai bahasa lokal dan minoritas. Kelalaian ini yang kemudian menjadi simpul utama gagalnya penyelenggaraan perlindungan anak. Selain itu, kewajiban Negara Pihak untuk memberikan pelatihan tentang KHA kepada orang tua, guru, tenaga kesehatan, tenaga sosial, aparat hukum, pejabat, pembuat dan pengambil keputusan.
Dalam bahasa hukumnya KHA merinci kewajiban Negara Pihak untuk memenuhi 31 hak anak. Ketiga puluh satu hak anak ini dikelompokkan ke dalam 5 kelompok. Pertama, hak dan kebebasan sipil; Kedua, lingkungan keluarga dan pemeliharaan alternatife; Ketiga, kesehatan dan kesejahteraan dasar; Keempat, pendidikan, kegiatan liburan dan budaya; dan Kelima, perlindungan khusus. Untuk mempercepat terimplementasinya KHA di tingkat kota pada masing-masing Negara Pihak, UNICEF memperkenalkan Child Friendly Citypada Konferensi Kota Istambul, 1996. Inti dari inisiatif ini adalah mengarahkan pada transformasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang ramah anak. Pada konferensi ini, Indonesia mengirimkan delegasi dengan biaya mahal. Seperti delegasi-delegasi yang dikirimkan pada pertemuan Internasional lainnya, mereka setibanya di tanah air tidak menindaklanjuti hasilnya, walaupun sekedar sosialisasi. Intinya, kita hanya berani menandatangi sebuah kesepakatan, tetapi takut mengimplementasikan. Fobia yang mendasar adalah penerjemahan dan pendanaan. Promosi lanjutan untuk mempercepat terimplementasi KHA, PBB menggelar pertemuan khusus untuk anak (UNGASS on Children), Mei 2002. Pertemuan ini, selain meninjau hasil kesepakatan Istanbul (Child Friendly City), para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak. Mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk: Pertama, mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi kota Ramah dan melindungi hak anak. Kedua, mempromosikan partisipasi anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota. Pertemuan yang menghadirkan 300 wakil anak dari seluruh dunia termasuk Indonesia mendeklarasikan Gerakan Global yang membantu membangun suatu Dunia Yang Layak Bagi Anak (A World Fit for Children) dengan 10 komitmen: dahulukan kepentingan anak; berantas kemiskinan: tanamkan investasi pada anak; jangan sampai seorang anak pun tertinggal; perawatan bagi setiap anak; didiklah setiap anak; lindungi anak terhadap penganiayaan dan eksploitasi; lindungi anak dari peperangan; berantas HIV/AIDS; dengarkan anak dan penelitian partisipasi; dan lindungi bumi bagi anak. Berbeda dengan delegasi sebelumnya, para delegasi UNGASS on Children 2002, setibanya di tanah air, dua tahun kemudian (2004) mereka menindaklanjuti dengan menjabarkan komitmen yang ada dalam Deklarasi A World Fit for Children tahun 2002, melalui Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015. Program ini bervisikan “Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas, berakhlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.” PNBAI memfokuskan pada empat program pokok yaitu bidang kesehatan, bidang pendidikan, perlindungan anak, dan penanggulangan HIV/AIDS. Namun jangan senang dulu, pertanyaannya adalah “Apakah dengan hadirnya PNBAI 2015, kemudian penyelenggaran perlindungan anak secara otomatis terpenuhi?” Tunggu dulu, pertama secara hukum, PNBAI belum diikat oleh Keputusan Presiden dan atau Peraturan Presiden. Kedua, departemen teknis seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, dan Departemen Sosial pada penyusunan program yang diarahkan untuk anak, belum secara eksplisit mengacu pada PNBAI. Apa indikator untuk hal tersebut? Pada saat penyusunan laporan WFFC+5.
Desember 2006, masing-masing departemen tersebut tidak mampu menunjukkan bahwa mereka telah mengacu pada PNBAI. Bagaimana dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota? Singkat kata, bara jauh dari panggang, alias tidak kenal apa itu PNBAI, apalagi memasukkannya dalam program di dinas/instansi. Meskipun ada upaya Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan telah mensosialisasikan.

Komitmen Nasional
Indonesia merupakan salah satu negara yang mencantumkan anak dalam Konstitusinya. Hal ini merupakan tongak sejarah perjuangan untuk memajukan penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk menerjemahkan amanah konstitusi ini, pada tanggal 22 September 2002, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Catatan yang mendasar dari UUPA ini tentang upaya pemenuhan hak-hak anak agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” Dan pada pasal 24 yang berbunyi “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.” Bagaimana mengefektifkan penyelenggaraan perlindungan anak? Jika mengacu pada UUPA, dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dibentuk Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) yang bersifat independen. Tugas KPAI adalah melakukan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; dan memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak. Lihat saja, bagaimana wujud nyata KPAI? Sejak anggota komisioner dilantik pada 23 Juli 2004 hingga akan dilakukan pemilihan anggota komisioner baru, kiprahnya dalam mensingkronkan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan anak pada masing-masing departmen dan instansi penyelenggara perlindungan anak, berjalan di tempat. Hal ini bukan karena lemahnya kemampuan para komisioner, namunkesadaran para pemangku kepentingan belum menjadikan anak sebagai arus utama dalam pembangunan.

Upaya
Anak adalah amanah Allah SWT yang harus kita lindungi agar tercapai masa pertumbuhan dan perkembangannya menjadi seorang manusia dewasa sebagai keberlanjutan masa depan bangsa. Anak bukan orang dewasa ukuran kecil, tetapi seorang manusia yang tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Mereka memiliki posisi strategis, karena jumlahnya 38 persen dari total penduduk Indonesia. Kunci utama untuk menjadikan anak sebagai potensi Negara dalam rangka keberlangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa adalah bagaimana komitmen pemerintah untuk menjadikan anak sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Upaya nyata adalah menciptakan lingkungan yang mengutamakan perlindungan bagi anak. kedua adalah menghidupkan nilai-nilai dan tradisi yang memajukan harkat dan martabat anak. ketiga adalah mengeksplorasi dan memobilisasi sumber daya untuk mendukung penyelenggaraan perlindungan anak. Namun, semua itu tergantung bagaimana Negeri ini menemukan Kepemimpinan Yang Peduli Anak.

PENUTUP
Dengan memahami perlindungan anak maka isu utama peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia akan lebih jelas tentang situasi dan kondisinya. Dengan demikian, solusi untuk mengatasi persoalan tersebut dapat menjadi objek forma suatu penelitian ilmu kemanusiaan, selanjutnya rekomendasi dari hasil penelitian dapat diterapkan menjadi ilmu pengetahuan berupa dalil dan teori yang tentunya akan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan seperti ilmu kemanusiaan yang pada gilirannya dapat mengembangkan khasanah ilmu kemanusiaan. Sisi utama dari tulisan ini adalah persoalan kepedulian kepada anak yang tentunya berdampak pada kualitas hidup manusia yaitu di bidang kesehatan, di bidang pendidikan, di bidang tenaga kerja, dan kemampuan keluarga untuk membiayai kualitas hidupnya yaitu terbebas dari kemiskinan.Oleh karena itu, pemahaman perlindungan anak dapat menjadi motivasi bagi setiap individu yang mendalami kajian ilmu kemanusiaan untuk berperan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Semoga tulisan ini dapat menggugah dan menjadi pendorong bagi kita sekalian dalam meningkatkan kualitas hidup manusia di Indonesia melalui perlindungan anak untuk mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas ceria, berakhlak mulia, dan terlindungi dari diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Akhirnya marilah kita berdoa semoga Indonesia yang layak bagi anak dapat segera terwujud melalui kepemimpinan yang peduli anak dan peran ilmu kemanusiaan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.