Pages

PERBEDAAN PTUN DENGAN Peradilan PERDATA

Ada beberapa perbedaan dalam PTUN dengan PERDATA yaitu:

1. Yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah badan atau pejabat tata usaha negara. Yang dapat menggugat hanyalah orang atau badan hukum perdata. Sehingga tidak mungkin terjadi saling menggugat antara sesama badan atau pejabat tata negara di peradilan tata usaha negara.

2. Sengketa yang dapat diadili oleh peradilan tata usaha negara adalah sengketa mengenai sah atau tidaknya suatu keputusan tata usaha negara, bukan sengketa mengenai kepentingan hak.

3. Pada peradilan tata usaha negara, hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada pembuktian bebas.

4. Suatu gugatan tata usaha negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara.

5. Gugat balik (gugat rekonvensi) tidak ada dalam hukum acara peradilan tata usaha negara.

6. Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN terdapat adanya tahap pemeriksaan pendahuluan.

7. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.

8. Dalam peradilan tata usaha negara, apabila tergugat tidak hadir maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan verstek, tetapi tetap melanjutkan sidang dengan acara biasa. Putusan baru bisa dijatuhkan setelah pemeriksaan segi pembuktian dilaksanakan secara tuntas. cara ini ditempuh dalam peradilan tata usaha negara, untuk menjaga jangan sampai kepentingan negara dirugikan karena kelalaian tergugat. Hal ini berbeda dengan acara yang berlaku di persidangan peradilan perdata, dalam hal demikian hakim dapat langsung menjatuhkan putusan verstek.

Dalam UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara diberikan kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain:

1. mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh panitera pengadilan untuk merumuskan gugatannya;

2. warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak mampu diberikan kesempatan untuk berperkara secara Cuma-Cuma;

3. apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak, atas permohonan penggugat, ketua pengadilan dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan dengan acara cepat;

4. penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada pengadilan tata usaha negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke pengadilan yang berwenang mengadilinya;

5. dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat;

6. badan atau pejabat tata usaha negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk datang sendiri.

Sistem Hukum Pembuktian Hukum Tata Usaha Negara

Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan :

1. Apa yang harus dibuktikan

2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri

3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian

4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan

Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.

Asas dalam Hukum Acara PTUN

- “Asas praduga rechtmatig (benar menurut hukum, presumptio iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5 tahun 1986);

- “Asas pembuktian bebas”. Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW (lihat Pasal 101, dibatasi ketentun Pasal 100;

- ”Asas keaktifan hakim (dominus litis)”. Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85)

- ”Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes)”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa; dan asas-asas peradilan lainnya, mislnya : asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, obyektif.

- “Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)”, para pihak mempunyai kedudukan yang sama;

- “Asas kesatuan beracara” (dalam perkara yang sejenis);

- “Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas” (Pasal 24 UUD 1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004);

- “Asas sidang terbuka untuk umum”putusan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 70 UU PTUN);

- “Asas pengadilan berjenjang” (tingkat pertama (PTUN), banding (PT TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA);

- “Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium)”, sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU PTUN);

- “Asas obyektivitas”, Pasal 78 dan 79 UU PTUN).

- Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

0 komentar:

Post a Comment