Pages

Pemilihan Sistem Presidensial

Ada empat dugaan saya mengenai latar belakang pemilihan sistem pemerintahan presidensial dalam negara kesatuan Republik Indonesia ini. Pertama , karena secara konseptual sistem pemerintahan presidensial memang satu-satunya alternatif terhadap sistem pemerintahan parlementer. Seperti kita ketahui, hampir seluruh Pendiri Negara menyadari kelemahan sistem parlementer seperti yang mereka saksikan di Eropa Barat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jadi, kalau menolak sistem pemerintahan parlementer, pilihannya otomatis ya sistem pemerintahan presidensial. Kedua , oleh karena sistem pemerintahan presidensial ini dirasa mampu mewadahi konsep tradisional ‘manunggaling kawulo lan gusti' serta gagasan democratie met leiderschap yang sudah lama ditimang-timang oleh sebagian pemimpin pergerakan Indonesia sejak sebelum Perang Dunia Kedua, antara lain oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo dan Ki Hajar Dewantara. Tidak mustahil ada penjelasan ketiga , yaitu oleh karena sistem pemerintahan presidensial bisa dioperasikan sebagai suatu updated version dari pemerintahan monarki absolut yang sering terdapat di kerajaan-kerajaan tradisional Indonesia sendiri, yang wujud konkritnya dalam konteks sejarah Mataram sudah dijelaskan demikian jernih oleh Soemarsaid Murtono. Dan penjelasan keempat , yaitu belum disadarinya secara penuh akibat yang mungkin timbul dari kombinasi sistem pemerintahan presidensial dalam suatu negara kesatuan, seperti yang kita alami dalam dasawarsa-dasawarsa sesudahnya.
Namun ada suatu teka teki lain, yaitu mengapa Drs. Mohammad Hatta, yang sejak mudanya memperjuangkan konsep daulat rakyat , tidak begitu gigih menolak sistem pemerintahan yang berpotensi mereduksi kedaulatan rakyat yang demikian dekat di hati beliau? Perkiraan saya, selain beliau juga menolak sistem pemerintahan parlementer yang beliau saksikan sendiri sewaktu studi di negeri Belanda antara tahun 1921-1932, juga oleh karena beliau merasa berhasil memperjuangkan suatu klausul pengamanan terhadap sistem pemerintahan presidensial ini, yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakui hak rakyat untuk menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan. Beliau nampaknya yakin bahwa hak rakyat untuk menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan ini akan dapat mencegah suatu hal yang sangat dikhawatirkan beliau, yaitu penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan. Dengan kata lain, Hatta memandang sistem pemerintahan presidensial sebagai the lesser evil, yang masih bisa dikendalikan melalui kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapat.
Bagaimana pengalaman sejarah kita mengenai sistem pemerintahan ini sejak tahun 1945?  Pengalaman kita memang menunjukkan dengan sangat meyakinkan betapa tidak andalnya suatu sistem pemerintahan parlementer bagi Indonesia yang bermasyarakat majemuk, dan sedang berjuang untuk membangun kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, penolakan para Pendiri Negara terhadap sistem pemerintahan parlementer ada benarnya. Kabinet jatuh bangun dalam waktu singkat akibat sengketa partai-partai yang berkoalisi, yang selalu berujung pada penarikan menteri-menterinya. Jatuh bangunnya kabinet berarti tidak dapat dilaksanakannya dengan mantap program-program yang telah ditetapkan.
Namun, juga sangat jelas bahwa sistem pemerintahan presidensial yang diharapkan akan dapat memberikan stabilitas pemerintahan, ternyata juga mempunyai kelemahan seperti yang dikhawatirkan Hatta, yaitu kecenderungan sentralisme yang nyaris mematikan kreativitas dan prakarsa penduduk, yang terjadi selama hampir empat dasawarsa, antara tahun 1959 – 1998. Demikianlah, sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 pra-amandemen 1999-2002 telah ‘melahirkan' dua orang presiden Indonesia yang amat besar kekuasaannya dan karena itu telah mengambil keputusan-keputusan yang nyaris tidak dapat dikoreksi siapapun juga, baik di tingkat pusat, juga ---atau apalagi--- di tingkat daerah. Kedua presiden ini naik dan jatuh dalam situasi krisis nasional, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik.
Gerakan Reformasi sejak tahun 1998 memungkinkan ditatanya kembali sistem pemerintahan melalui empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Dewasa ini kita masih menganut sistem pemerintahan presidensial dalam suatu bentuk negara kesatuan, tetapi bersamaan dengan itu titik berat kekuasaan telah beralih dari presiden ke parlemen, yang pada saat ini mempunyai kekuasaan yang amat besar, bukan hanya dalam legislasi, anggaran, dan pengawasan pemerintahan, tetapi juga bidang-bidang yang tradisional termasuk dalam executive privilege, seperti pengangkatan duta-duta besar.
Suatu masalah baru ternyata telah timbul sewaktu seorang tokoh nasional yang populer terpilih sebagai presiden dengan mayoritas suara yang meyakinkan, tetapi partainya sendiri tidak memperoleh dukungan suara yang memadai di parlemen, yang kini mempunyai kekuasaan demikian besar. Mau tidak mau, presiden harus memperhitungkan kekuatan parlemen ini, walau sesungguhnya jika perlu, presiden bisa meng- appeal langsung kepada rakyat. Namun hal itu jelas tidak mudah dilakukan, sehingga sistem pemerintahan presidensial Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bisa disifatkan sebagai suatu ‘sistem pemerintahan presidensial dengan rasa parlementer'.
Demikianlah, kelihatannya kita masih tetap bagaikan terombang-ambing antara sistem pemerintahan parlementer yang secara formal telah ditolak, dengan sistem pemerintahan presidensial yang kelihatan masih belum memperoleh formatnya yang tepat. Baru tiga bulan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku, pada bulan Oktober 1945 telah keluar Maklumat Wakil Presiden yang mengangkat Sjahrir sebagai Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, semacam parlemen, yang secara efektif telah mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Selama sepuluh tahun berikutnya, antara tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, baik Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 maupun Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer ini. Seperti dapat diduga, walau bisa diacungi jempol dalam memberi peluang bagi kekuatan-kekuatan demokratis, namun pemerintahan parlementer ini selain tidak mampu menyejahterakan rakyat, juga tidak berhasil memadamkan rangkaian pemberontakan yang terjadi berlarut-larut hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Seluruh gonjang ganjing itu diharapkan berakhir mulai tahun 1959, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sewaktu Republik Indonesia menganut kembali sistem pemerintahan presidensial. Sejarah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan presidensial berdasar Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan ‘secara murni dan konsekwen' ini bisa menyajikan pemerintahan yang lebih stabil ---kendati semu--- dan jika dikelola dengan baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dapat memberikan dasar-dasar kesejahteraan rakyat. Hal itu terlihat antara tahun 1969-1983. Namun sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan ini juga mengandung time bomb yang berbahaya, yaitu jika integritas the incumbent president serta lingkungannya dapat dikompromikan oleh demikian banyak godaan kekuasaan. Hal itu terjadi antara tahun 1984 – 1997. Demikian banyak keputusan-keputusan strategis telah dibuat oleh presiden yang mempunyai kekuasaan yang teramat besar tersebut, yang dalam jangka pendek dan menengah memberi kesan mampu memenuhi aspirasi dan kepentingan orang banyak, tetapi bersamaan dengan itu tanpa dapat dihambat juga memberikan lebih banyak kepada ‘aspirasi dan kepentingan' lingkaran dalam kepresidenan. Sejarah membuktikan bahwa sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk yang merosot ini mempunyai akibat yang fatal bagi bangsa dan negara dalam perspektif jangka panjang. Beberapa contoh yang dapat dikutip dalam hal ini adalah kebijakan melakukan pinjaman luar negeri dalam jumlah yang amat besar, serta eksploitasi sumber daya alam yang habis-habisan, diiringi oleh tumbuh dan berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai akibatnya, sejak tahun 1997 sampai sekarang, Indonesia terjerat dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang belum terlihat tanda-tanda kapan akan berakhirnya. Seluruhnya itu berlangsung pada saat negara-negara Asia lainnya bukan saja sudah pulih tetapi juga sudah mulai melejit.
Ringkasnya, kita menganut sistem pemerintahan parlementer selama 14 tahun, baik bentuk negara federal maupun dalam bentuk negara kesatuan, yang disusul oleh sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan selama 47 tahun berikutnya. Sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan ini berlangsung baik dengan format lama yang memberikan kekuasaan penuh hampir tanpa batas kepada presiden, maupun dalam format baru yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada parlemen. Ternyata seluruhnya belum berhasil mewujudkan dua tujuan nasional dan empat tugas pemerintahan yang tercantum demikian lugas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak akan diubah lagi.

0 komentar:

Post a Comment